Sejarah Berdirinya Pabrik Gula di Yogyakarta, Era Hindia-Belanda
Pasca Perang Diponegoro pada tahun 1825-1830 Kas Keuangan pemerintah kolonial Belanda banyak berkurang untuk biaya peperangan. Untuk menutupi kerugian yang cukup besar Gubernur Jenderal Johanesh Van Den Bosch mewajibkan setiap desa untuk menyisihkan tanahnya untuk ditanami komoditi eskpor, khusunya Kopi, Jahe, Tebu, Teh, dan tarum.
Setelah melakukan penerapan Sistem Tanam Paksa (Cultivation System) , dengan keuntungan yang berlipat membuat pemerintah belanda menerapkan sistem Liberalisme ekonomi dengan dikeluarkanya Undang-Undang Agaria (Agrarische Wet) di Hindia belanda (1870-1914). Banyaknya para Pribumi yang kemudian bekerja sama dengan investor asing di Bidang perkebunan.
Baca Juga:Kisah Misteri Rumah Fenomenal Kota Gede
Kala itu komiditi Kopi, Teh dan tebu menjadi salah satu investasi yang cukup besar, mengingat orang-orang Eropa sangat membutuhkan komoditi tersebut.
Setelah ditemukanya bibit tebu (Suikerriet) di Amerika latin sebagai bahan baku gula, maka orang-orang Eropa mencoba menanam tebu di Indonesia dan mendapat keuntungan yang cukup besar. Pada abad 1700-1800 Hindia Belanda menjadi eksportir gula terbaik didunia setelah negara Kuba yang berada di Amerika Latin.
Pada saat itu Hindia Belanda mulai membuat pabrik gula dengan sekala besar supaya bisa meraih keuntungan yang banyak. Banyak para pribumi dijadikan tenaga rendahan (tenaga kasar). sedangkan orang belanda menjadikan warganya sebagai pengawas (ziender)
Sebagai contoh, sebuah pabrik gula di Yogyakarta dikelola oleh administur dengan bantuan 20-25 orang Belanda. Pada saat musim panen datang, jumlah pribumi mencapai 800-1000 orang.
Di Kasultanan Ngayogyakarta sendiri terdapat beberapa pabrik gula swasta hingga Sri Sultan Hamengkubuwono V11 yang memerintah Keraton Mataram sejak 1877-1921 kala itu Sultan ditujukan untuk orang yang kaya.Diantara pabrik gula yang pernah berdiri kala itu adalah:
Untuk Mendukung penggangkutan gula termasuk Lori pengankut barang tebu, maka dibangunlah sistem transportasi kereta api. Pada saat itu perusahaan kereta api yang bernama SS (Statspoorweg) yang membuat Rel untuk pengankutan logistik.
Di Yogyakarta transportasi kereta api dikembakan pada masa akhir pemeritnahan Sultan Hamengku Buwono VI, yaitu dengan dibangunya Stasiun Lempuyangan ( 2 Maret 1872 M) yang menjadi stasiun pertama milik Pemerintah Yogyakarta pada saat itu.
Jalur Kereta api Yogyakarta-Pundong dimulai dari Stasiun Tugu-Jlagaran Lor-Pringgokusuman-Ngabean-Gendingan-Suryawijayan-Pojok Beteng Kulon-Timuran (Pojok Beteng Wetan)-Sidikan-Kotagede-Kuncen-Bintaran-Kedaton Pleret-Wonokromo-Ngentak-Jetis-Barongan-Patalan-Potrobayan-Pundong.
Adapaun jalur Yogyakarta dengan Sewogalur dimulai dari Stasiun Tugu-Ngabean Pojok Beteng Kulon-Dongkelan-Winongo.
Baca Juga:Misteri Suara Drumband di Pagi Hari
Tetapi pada tahun 1930 terjadi krisis monter yang melanda dunia (Malaise) sehingga pada tahun 1931 terjadi kesepakatan antara pedagang gula (Charbourne Aggrement). Perjanjian itu antara lain, pemerintah Hindia Belanda Harus mengurangi produksi gula yang dulunya 3 ton menjadi 1,4 ton. Sebagai akibat pengurungan pabrik gula yang sebagian tutup.
Di kisahkan saat itu pabrik terpaksa harus membayar para pekerja pribumi dengan menggunakan gula buka dengan uang sehingga gula yang biasanya untuk komoditi ekspor dan banyak digunakan untuk campuran bahan pembuatan makanan oleh pribumi.
Banyak makanan lain yang terasa manis karena terdapat campuran gula yang sekarang menjadi makanan ciri khas yaitu klepon, lupis, kipo,kicak, cucur, clorot, cenil, cemplon. Bahkan bahan makanan dan lauk pauk tidak luput dari campuran dasar gula seperti thiwul, tahu tempe dan makanan yogyakarta lainya.
Artikel ini dikumpulkan dari beberapa sumber yang ada, jika terdapat salah kata maupun claim hak cipta sekalian hubungi admin melalui Contack dibawah!
Setelah melakukan penerapan Sistem Tanam Paksa (Cultivation System) , dengan keuntungan yang berlipat membuat pemerintah belanda menerapkan sistem Liberalisme ekonomi dengan dikeluarkanya Undang-Undang Agaria (Agrarische Wet) di Hindia belanda (1870-1914). Banyaknya para Pribumi yang kemudian bekerja sama dengan investor asing di Bidang perkebunan.
Baca Juga:Kisah Misteri Rumah Fenomenal Kota Gede
Kala itu komiditi Kopi, Teh dan tebu menjadi salah satu investasi yang cukup besar, mengingat orang-orang Eropa sangat membutuhkan komoditi tersebut.
Para petani dan pedagang pada era Kolonial Belanda antara tahun 1890-1926 (Foto:Bombatis.com) |
Pada saat itu Hindia Belanda mulai membuat pabrik gula dengan sekala besar supaya bisa meraih keuntungan yang banyak. Banyak para pribumi dijadikan tenaga rendahan (tenaga kasar). sedangkan orang belanda menjadikan warganya sebagai pengawas (ziender)
Sebagai contoh, sebuah pabrik gula di Yogyakarta dikelola oleh administur dengan bantuan 20-25 orang Belanda. Pada saat musim panen datang, jumlah pribumi mencapai 800-1000 orang.
Di Kasultanan Ngayogyakarta sendiri terdapat beberapa pabrik gula swasta hingga Sri Sultan Hamengkubuwono V11 yang memerintah Keraton Mataram sejak 1877-1921 kala itu Sultan ditujukan untuk orang yang kaya.Diantara pabrik gula yang pernah berdiri kala itu adalah:
Pabrik Gula(P.G) Wonocatur (Sf.Wonotjatoer) Banguatapan Bantul. Pabrik Gula ini sekarang beralih fungsi menjadi Museum Dirgantara (Foto:Wikipedia/Goggle) |
Pabrik Gula (P.G) Kedaton Pleret (Sf.Kedaton Pleret) Pabrik gula ini sekarang sudah dialihfungsikan menjadi lapangan umum (Foto:Wikipedia/Goggle) |
Pabrik Gula Sewu Galur didirikan pada tahun 1881 oleh beberapa orang Hindia Belanda antara lain E.J Hoen, O.A.O van der Berg dan R.M.E raff. Pada awalnya pabrik gula ini hanya tanah yang disewa dari bangsawan pakualaman dan menjadi aset utama pabrik Sewugalur.
Untuk Mendukung penggangkutan gula termasuk Lori pengankut barang tebu, maka dibangunlah sistem transportasi kereta api. Pada saat itu perusahaan kereta api yang bernama SS (Statspoorweg) yang membuat Rel untuk pengankutan logistik.
Di Yogyakarta transportasi kereta api dikembakan pada masa akhir pemeritnahan Sultan Hamengku Buwono VI, yaitu dengan dibangunya Stasiun Lempuyangan ( 2 Maret 1872 M) yang menjadi stasiun pertama milik Pemerintah Yogyakarta pada saat itu.
Pabrik Gula Sedayu (Sf. Sedajoe) Argorejo Sedayu Bantul. Pabrik ini dulunya terbakar akibat Agresi Militer Belanda II Pada tahun 1948 (Foto:Wikipedia/Goggle) |
Stasiun Lempuyangan pada saat Hindia Belanda Pada Tahun 1910 (Foto: Wikipedia/Goggle) |
Jalur Kereta api Yogyakarta-Pundong dimulai dari Stasiun Tugu-Jlagaran Lor-Pringgokusuman-Ngabean-Gendingan-Suryawijayan-Pojok Beteng Kulon-Timuran (Pojok Beteng Wetan)-Sidikan-Kotagede-Kuncen-Bintaran-Kedaton Pleret-Wonokromo-Ngentak-Jetis-Barongan-Patalan-Potrobayan-Pundong.
Adapaun jalur Yogyakarta dengan Sewogalur dimulai dari Stasiun Tugu-Ngabean Pojok Beteng Kulon-Dongkelan-Winongo.
Baca Juga:Misteri Suara Drumband di Pagi Hari
Tetapi pada tahun 1930 terjadi krisis monter yang melanda dunia (Malaise) sehingga pada tahun 1931 terjadi kesepakatan antara pedagang gula (Charbourne Aggrement). Perjanjian itu antara lain, pemerintah Hindia Belanda Harus mengurangi produksi gula yang dulunya 3 ton menjadi 1,4 ton. Sebagai akibat pengurungan pabrik gula yang sebagian tutup.
Di kisahkan saat itu pabrik terpaksa harus membayar para pekerja pribumi dengan menggunakan gula buka dengan uang sehingga gula yang biasanya untuk komoditi ekspor dan banyak digunakan untuk campuran bahan pembuatan makanan oleh pribumi.
Banyak makanan lain yang terasa manis karena terdapat campuran gula yang sekarang menjadi makanan ciri khas yaitu klepon, lupis, kipo,kicak, cucur, clorot, cenil, cemplon. Bahkan bahan makanan dan lauk pauk tidak luput dari campuran dasar gula seperti thiwul, tahu tempe dan makanan yogyakarta lainya.
Artikel ini dikumpulkan dari beberapa sumber yang ada, jika terdapat salah kata maupun claim hak cipta sekalian hubungi admin melalui Contack dibawah!